INDIGO, Si Emas Biru Saksi Kekejaman Kolonial Belanda

Apa itu indigo?                            

Indigo sering  diartikan dengan anak yang mempunyai kemampuan untuk melihat makhluk halus atau alam ghoib.   Bukan indigo seperti itu yang kita bicarakan, tapi zat warna alam berwarna biru yang dihasilkan oleh tanaman Indigofera!

Saya yakin Anda  pernah mendengar peribahasa melayu “Karena nila setitik, rusak susu sebelahnya…..ehhh salah….. sebelanga ”!

Nila..yang telah kita kenal  sejak di bangku sekolah dasar   inilah yang sekarang banyak dikenal sebagai indigo (dalam bahasa Jawa disebut  ‘nilo’).

Lalu warna nila itu  seperti apa?  Warna  biru jeans, adalah contoh produk yang di warnai dengan nila dari tanaman   indigo ini. Perlu diketahui,  sebelum ditemukannya zat warna sintetik, semua produsen  jeans  menggunakan nila sebagai pewarnanya.  

Warna indigo identik dengan warna biru

Jadi indigo merupakan zat warna biru yang didapatkan dari tanaman yang dengan nama latin Indigofera sp.  Di tanah  Sunda tanaman ini dikenal sebagai “ tarum” sedangkan  dalam budaya  Jawa, tumbuhan ini  mempunyai sebutan yang sangat  keren.. yakni  “tom”.

Tidak ada referensi yang bisa menjadi rujukan untuk sebutan “tom” bagi Indigofera sp di daerah ini.. Mungkin saja, dahulu yang menjadi Pak Mandor saat tanam paksa di zaman penjajahan Belanda di daerah ini bernama  Mr Tom, dimana orangnya sangat special…jadi tanaman nila ini lebih dikenal dengan “tom”!  Tentu saja cerita ini hanya versi saya, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan  validitasnya sama sekali!!

Perlu diketahui, dimasa penjajahan dahulu, nila (indigo) merupakan salah satu komoditi ekspor penting  pemerintah Hindia Belanda selain kopi, tebu, teh dan rempah-rempah. Kebijakan  “cultuurestelsel” yang diiplementasikan  oleh Gubernur Jendral Johannes van den Bosh dengan sistem tanam paksa, saat itu menjadikan negeri ini menjadi penghasil nila terbesar di dunia!   Dan kakek-buyut  kami, menjadi bagian dari  “sejarah emas” (tepatnya menjadi korban) dari  pedihnya sistem tanam paksa ini.

Begitu tinggi nilai komoditas  pewarna alam nila dari Indigofera sp, sehingga disebut sebagai “emas biru”! Namun karena diproduksi dengan menguras keringat rakyat,  disindir dengan sebutan “keringat biru”.

Masa kejayaan emas biru berakhir dengan ditemukannya pewarna sintetik seperti naftol, indigosol, remasol, dll. Karena dirasa lebih murah dan praktis, otomatis pewarna alami  ini dicampakkan  oleh  para produsen tekstil diseluruh dunia. Penggunaan pewarna alam indigo hanya tersisa sedikit pada kain-kain tradisional. Namun kini, ketika orang telah menyadari ternyata penggunaan zat warna sintetik telah mengancam kelestarian alam dan kesehatan , meraka  berpaling dan kembali ke warna alam.

Mengunjungi ladang Indigofera sp. yang dibudidayakan para petani binaan Puspita Batik