Mengenal Kami

Tentang Kami

Ini adalah cerita tentang kami, bagaimana kami kemudian berkenalan , berteman  dan bergelut dengan si biru “INDIGO”.

Berawal dari diberikannya sebungkus benih indigofera yang sudah hampir dibuang, oleh seorang teman pencelup warna alam indigo. Dia mengatakan bahwa mungkin tumbuhan ini akan cocok untuk ditanam di daerah pesisir selatan tempat kami tinggal,

Memanen biji Indigofera sp. untuk disimpan sebagai benih.

O..iya kami belum ceritakan dimana kami tinggal, benar kami tinggal dipesisir selatan kota Yogyakarta, tepatnya di dekat muara Sungai Progo, di Dusun Babakan, kelurahan Poncosari, kecamatan Srandakan, kabupaten Bantul. Rumah kami hanya berjarak 1,5km dari pantai selatan, tapi tenang saja , kami tidak takut dengan tsunami atau banjir sungai Progo, bukankah semua sudah memiiki garis kematiannya masing-masing? Dimanapun itu, ajal bisa kapan saja datang.  Jadi berprasangkalah yang baik-baik saja.

Oke, kita kembali ke topic kita, kenapa teman saya berpikir bahwa tumbuhan Indigofera cocok ditanam di dataran rendah dengan paparan matahari   seharian penuh. Hal ini dibenarkan  Ibu Suliantoro Sulaiman, fouder dari Galeri Batik Jawa ketika saya menemui beliau. Menurut penuturan beliau, di daerah Bantul selatan dulunya memang area budidaya tom pada zaman cultuurstelsel.

Ternyata benar,  struktur tanah di daerah kami yang berpasir, memang cocok untuk tumbuhan Indigofera  yang mempunyai akar berbintil ini. Intensitas matahari yang  tinggi juga  memaksimalkan proses fotosintesis sehingga tumbuhan ini  bisa menghasilkan indigonin (zat warna) dengan  optimal.

Ketika  melihat kami membudidayakan Indigofera di sawah, ada simbah-simbah  orang bertanya, “Buat apa nanam Tom, mau “medel”?”.   Jawab saya , “Inggih Mbah!”  Padahal saat itu kami belum tahu bagaiaman cara  membuat nilo. Setelah itu beliau bercerita banyak, ternyata dahulu beliau pernah kerja sebagai tukang wedel, mewarnai batik dengan nilo! Memang, sebelum merebaknya pemakaian pewarna sintetik, para leluhur kita mempunyai budaya mewarnai batik dengan indigo dan warna alam lain.

“Medel” ada adalah istilah mewarnai kain batik dengan nila (indigo) sehingga warnanya menjadi biru.

Titik awal  kembalinya si emas biru indigo adalah di sini,  ketika saya bersama istri tercinta Eyster Puspitasari (owner me) memulai   mengolah  tanaman tom yang kami budidayakan  menjadi nilo. Untuk itu  kami melakukan serangkaian  penelitian, apa yang kami amati dicatat dan  dianalisa. Dari beberapa referensi,  lalu kami coba  kembangkan!   Namun kegagalan demi kegagalan yang  kami temui. Hal  itu tak bisa menyurutkan langkah kami untuk bias mendapatkan pasta Indigo dengan kualitas yang super.

Yah..ternyata memang sulit sekali menjadi teman dari si biru indigo, dia termasuk pewarna yang sensitive (“baperan” kalau bahasa anak zaman milenia), dalam perjalanannya warna yang dihasilkan masih belum stabil, kadang biru cantik, kadang sedikit hijau. Ketidakstabilan itu menjadikan kami terus mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi rahasia si biru ini. Sehubungan dengan sifat indigo yang “baperan”,  ada cerita unik dari simbah dulu, katanya kalau mau memproses pasta indigo kita tidak boleh dalam keadaan marah atau galau. Bahkan perempuan yang sedang haid dilarang mendekat.  Mereka juga punya ritual khusus sebelumnya, yaitu dengan mempersembahkan semacam sesaji. Kalau mengikuti “kata orang” , tentu kami akan  mendapat formulasi untuk “mendulang emas biru” ini. Disinilah saya merasakan betapa bermanfaatnya  kuliah di Fakultas Biologi UGM, karena  untuk mengekstraksi pigmen warna indigo, dibutuhkan pemahaman  biokimia dan mikrobiologi. Dengan  mengaplikasikan dasar-dasar ilmu yang di peroleh selama  belajar di bangku kuliah,   kami  dapatkan formulasi pengolahan indigo yang berkualitas. Kami juga telah mengidentifikasi jenis-jenis  Indigofera pengahasil warna biru ini dengan kelebihaan dan kekurangan masing-masing untuk dibudidayakan,

Oo ya..sebelum berkecimpung  dengan si biru INDIGO, saya berprofesi sebagai  Medical Representatif  di beberapa perusahaan farmasi. Terakhir saya bergabung dengan PT Sandoz Indonesia, sebuah perusahaan farmasi global berlogo biru dongker  yang berkantor pusat di Jerman.